Sebagai catatan, PKBI-UNFPA-BKKBN seperti dilansir Antara menyebutkan, setiap tahun 15 juta remaja berusia 15 – 19 tahun melahirkan dan 20 persen dari sekitar 2,3 juta kasus aborsi di Indonesia dilakukan oleh remaja. (Hupelita, 2007)
Kondisi itu tidak hanya memprihatinkan karena mencerminkan lemahnya penerapan ajaran agama dan melunturnya norma masyarakat namun juga mengkhawatirkan mengingat perilaku tersebut berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan reproduksi pada remaja yang bersangkutan berupa penularan penyakit menular seksual seperti infeksi virus dan sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (HIV/AIDS), kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) pada usia dini, serta praktik aborsi illegal yang tidak aman.
Mengapa remaja lebih sering mengalami kehamilan tidak dikehendaki (KTD) ?
Jawabannya akan sangat klise, “ Karena tidak siap !”. Secara fisik, remaja sedang mengalami perkembangan tubuh sehingga belum sampai pada kondisi ‘puncak’ siap untuk melahirkan. Data menyebutkan bahwa risiko kematian pada perempuan yang hamil dan melahirkan pada usia dibawah 20 tahun, 2 sampai 5 kali lebih besar daripada mereka yang berusia 20–29 tahun. Sementara secara psikis, belum siap mental menjadi ortu, karena remaja sedang dalam proses ‘sibuk dengan dirinya sendiri’, lalu bagaimana harus member perhatian optimal pada anak ? Kalau secara ekonomi, kayaknya cukup jelas, remaja yang masih sekolah sebagian besar belum mandiri, bahkan sering memperpanjang masa disokong ortu sampai lulus SMA atau kuliah
Nasib Remaja Putri
Nilai-nilai patriarkhis yang berurat akar di masyarakat kita telah meletakkan remaja putri jauh di luar jarak pandang kita dalam kesehatan reproduksi. Undang-undang no. 20/1992 mentabukan pula pemberian layanan KB untuk remaja putri yang belum menikah.
Bahkan terdapat mitos yang memojokkan remaja putri, untuk membujuk-paksa mereka supaya bersedia berhubungan seks secara "suka-sama-suka", bahwa hubungan seks yang hanya dilakukan sekali takkan menyebabkan kehamilan. Berbagai metode kontrasepsi "fiktif" juga beredar luas di kalangan remaja.
Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan, lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggung jawab. Memilih untuk menjalani kehamilan dini seperti dilakukan 9,5% remaja di bawah 20 tahun , dengan risiko kemungkinan kematian ibu pada saat melahirkan 28% lebih tinggi dibanding yang berusia 20 tahun ke atas, disertai kegamangan karena tak siap menghadapi peran baru sebagai ibu. Atau menjalani pilihan lain yang tersedia, yaitu aborsi.
Selanjutnya Anda bisa baca (klik)Penyebab Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
Kondisi itu tidak hanya memprihatinkan karena mencerminkan lemahnya penerapan ajaran agama dan melunturnya norma masyarakat namun juga mengkhawatirkan mengingat perilaku tersebut berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan reproduksi pada remaja yang bersangkutan berupa penularan penyakit menular seksual seperti infeksi virus dan sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (HIV/AIDS), kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) pada usia dini, serta praktik aborsi illegal yang tidak aman.
Mengapa remaja lebih sering mengalami kehamilan tidak dikehendaki (KTD) ?
Jawabannya akan sangat klise, “ Karena tidak siap !”. Secara fisik, remaja sedang mengalami perkembangan tubuh sehingga belum sampai pada kondisi ‘puncak’ siap untuk melahirkan. Data menyebutkan bahwa risiko kematian pada perempuan yang hamil dan melahirkan pada usia dibawah 20 tahun, 2 sampai 5 kali lebih besar daripada mereka yang berusia 20–29 tahun. Sementara secara psikis, belum siap mental menjadi ortu, karena remaja sedang dalam proses ‘sibuk dengan dirinya sendiri’, lalu bagaimana harus member perhatian optimal pada anak ? Kalau secara ekonomi, kayaknya cukup jelas, remaja yang masih sekolah sebagian besar belum mandiri, bahkan sering memperpanjang masa disokong ortu sampai lulus SMA atau kuliah
Nasib Remaja Putri
Nilai-nilai patriarkhis yang berurat akar di masyarakat kita telah meletakkan remaja putri jauh di luar jarak pandang kita dalam kesehatan reproduksi. Undang-undang no. 20/1992 mentabukan pula pemberian layanan KB untuk remaja putri yang belum menikah.
Bahkan terdapat mitos yang memojokkan remaja putri, untuk membujuk-paksa mereka supaya bersedia berhubungan seks secara "suka-sama-suka", bahwa hubungan seks yang hanya dilakukan sekali takkan menyebabkan kehamilan. Berbagai metode kontrasepsi "fiktif" juga beredar luas di kalangan remaja.
Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan, lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggung jawab. Memilih untuk menjalani kehamilan dini seperti dilakukan 9,5% remaja di bawah 20 tahun , dengan risiko kemungkinan kematian ibu pada saat melahirkan 28% lebih tinggi dibanding yang berusia 20 tahun ke atas, disertai kegamangan karena tak siap menghadapi peran baru sebagai ibu. Atau menjalani pilihan lain yang tersedia, yaitu aborsi.
Selanjutnya Anda bisa baca (klik)Penyebab Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
2 comments:
Why you did not do research in the rembang region about this ma'am??
Actually, i have. :)
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !